LEKTUR.CO, LINGKUNGAN – Pendangkalan Danau Tondano, danau terbesar di Sulawesi Utara, semakin mengkhawatirkan. Selain mengganggu ekosistem perairan, kondisi ini turut memperburuk risiko banjir di wilayah sekitarnya seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.
Menanggapi hal ini, pakar lingkungan hidup dari Universitas Negeri Manado (UNIMA), Dr. Mercy M. F. Rampengan, S.Pi, M.App.Sc, PhD, membeberkan analisis mendalam terkait penyebab utama pendangkalan serta solusi yang dapat ditempuh secara berkelanjutan.
Dr. Rampengan menyebut bahwa pendangkalan Danau Tondano adalah akibat dari degradasi lingkungan yang terjadi secara sistematis dan terus-menerus. Berikut ini beberapa faktor utama penyebabnya:
1. Erosi dan Sedimentasi dari Deforestasi Catchment Area
Aktivitas penebangan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian di daerah tangkapan air (catchment area) menyebabkan erosi yang signifikan.
“Material tanah dari hulu terbawa aliran sungai lalu mengendap di dasar danau, menyebabkan akumulasi sedimen yang mempercepat proses pendangkalan,” jelas Dr. Rampengan.
2. Praktik Pertanian yang Tidak Berkelanjutan
Pengolahan lahan yang tidak tepat, seperti membajak dengan arah tegak lurus lereng dan tanpa vegetasi penutup, mempercepat erosi.
“Tanpa adanya buffer zone atau vegetasi penahan, partikel tanah mudah terbawa air dan berakhir di danau,” tambahnya.
3. Pembangunan Infrastruktur Tanpa Kajian Lingkungan
Pembangunan jalan, pemukiman, dan fasilitas umum yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan memperparah kondisi.
“Minimnya vegetasi serta pengabaian terhadap rencana tata ruang mempercepat limpasan air dan sedimentasi,” tegasnya.
4. Aktivitas Manusia: Tambang Pasir dan Limbah Rumah Tangga
Penambangan pasir serta pembuangan sampah domestik memperburuk struktur tanah dan kualitas air danau. Limbah yang tidak terkelola menambah beban nutrien di danau, memicu pertumbuhan eceng gondok berlebihan.
“Ini mempercepat proses eutrofikasi, yang membuat aliran air tersumbat dan sedimentasi makin parah,” jelasnya.
5. Dampak Perubahan Iklim
Curah hujan yang semakin tidak menentu membuat volume air masuk meningkat drastis saat hujan lebat.
“Saat hujan ekstrem, danau tidak mampu menampung air karena sedimentasi telah mengurangi kapasitasnya. Akibatnya, banjir tak terelakkan seperti yang kita saksikan saat ini,” katanya.
6. Lemahnya Upaya Konservasi dan Restorasi
Dr. Rampengan menilai bahwa upaya konservasi selama ini belum konsisten dan kurang terintegrasi. Program reboisasi tidak dilakukan secara berkesinambungan, pengelolaan limbah masih minim, dan kerja sama antar lembaga pemerintah serta masyarakat belum berjalan optimal.
Dampak Nyata Pendangkalan Danau Tondano
Dr. Rampengan mengingatkan bahwa pendangkalan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, namun juga terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Di antaranya:
– Banjir: Saat curah hujan tinggi, air danau meluap karena daya tampungnya menurun.
– Rusaknya ekosistem perairan: Habitat ikan dan organisme air terganggu akibat sedimen dan limbah.
– Turunnya produktivitas perikanan, pertanian, dan pariwisata: Danau yang seharusnya menjadi sumber kehidupan masyarakat kini kehilangan fungsinya.
Solusi: Masyarakat Harus Jadi Pengelola Lingkungan
Sebagai solusi jangka panjang, Dr. Rampengan menekankan pentingnya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan Danau Tondano.
“Masyarakat harus menjadi manajer lingkungan karena mereka yang paling merasakan dampaknya. Jika diberikan kepercayaan, peran nyata, dan fungsi kontrol, mereka akan menjadi pelindung terbaik bagi danau ini,” ujarnya.
Berikut beberapa langkah konkret yang ia usulkan:
– Reboisasi catchment area secara konsisten.
– Pengelolaan limbah dan sampah berbasis masyarakat.
– Penegakan regulasi tata ruang yang ketat.
– Pembersihan tumbuhan air seperti eceng gondok secara rutin.
– Kerja sama lintas sektor (pemerintah, akademisi, LSM, dan masyarakat).
Pentingnya Kajian Risiko dalam Perencanaan Pembangunan
Dr. Rampengan menegaskan bahwa penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJMD) harus menjadikan dokumen Kajian Risiko Bencana, Rencana Penanggulangan Bencana, dan Rencana Kontinjensi Banjir serta Longsor sebagai dasar.
“Kalau dokumen-dokumen penting ini tidak dijadikan acuan, maka bencana akan terus berulang, bahkan lebih buruk lagi ke depannya,” katanya.
Profil Singkat Narasumber
Dr. Mercy M. F. Rampengan, S.Pi, M.App.Sc, PhD, adalah akademisi dan peneliti di bidang Ilmu Bumi dan Lingkungan. Ia merupakan Dosen di Prodi Ilmu Lingkungan FMIPAK Universitas Negeri Manado, sekaligus Wakil Dekan Bidang Akademik FMIPAK Unima. Ia Meraih gelar Ph.D. dari James Cook University, Australia (2011–2015), Dr. Rampengan dikenal aktif dalam kolaborasi pendidikan internasional dan advokasi lingkungan berbasis ilmu pengetahuan. (*)