LEKTUR.CO, Jakarta – Aksi 18 Desember 2020 (1812) yang dilakukan anggota dan simpatisan Front Pembela Islam (FPI) di depan Patung Kuda, tepatnya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat akhirnya membubarkan diri. Segelintir massa yang terus memaksa melancarkan aksinya, sempat ricuh dengan petugas kepolisian yang berjaga di lokasi.
Massa yang menamakan dirinya sebagai Anak NKRI sempat berorasi, setelah itu langsung diminta pulang.
Demonstrasi yang menciptakan kerumunan di masa pandemi ini, rupanya kurang diminati masyarakat. Hal ini terlihat dari relatif sedikitnya massa yang turut terlibat dalam demonstrasi tersebut.
Meski demikian, masyarakat tetap memberikan komentar secara aktif di media sosial, terutama di aplikasi Twitter. Diantara tagar yang menjadi kunci pembicaraan adalah #IndonesiaNegaraHukum.
Topik obrolan tagar ini, secara umum membicarakan mengenai isi orasi Aksi 1812 yang berusaha untuk mengintervensi hukum atas pemeriksaan Muhammad Rizieq Shihab (MRS). Dan cenderung menyalahkan kepolisian atas peristiwa baku-tembak antara Laskar FPI dan Anggota Kepolisian di KM 50 Karawang.
Beberapa akun di Twitter yang menggunakan tagar #IndonesiaNegaraHukum, mencuitkan pemahaman hukum yang harus dipahami massa FPI.
Secara umum masyarakat netizen mengemukakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD 45; pasal 27 ayat (1) mengenai prinsip equality before the law, masyarakat berkedudukan sama dimuka hukum. Pada konten tagar ini, masyarakat netizen mengemukakan agar tidak ada satu orang pun tidak bisa mengintervensi hukum dengan meluapkan kekesalan melalui aksi massa.
“Pada dasarnya, seorang ulama maupun anggota polisi jika terbukti bersalah akan dihukum, termasuk HRS,” ujar netizen.
Disinggung oleh netizen, FPI dan pemimpinnya MRS tidak perlu ‘baper’ ketika akhirnya harus berhadapan dengan hukum. Karena, setiap perbuatan pada dasarnya harus dipertanggungjawabkan dihadapan hukum.
Akun netizen juga menyinggung, bahwa jenderal di kepolisian saja tidak bisa mengelak ketika terbukti menjadi oknum dalam pelarian Djoko Tjandra. Akun itu menegaskan bahwa MRS dan siapapun anggota FPI tidak berkelit dari pemeriksaan kepolisian.
“Soal korban baku tembak juga saya kira fair, udah dipastikan polisi kok, kalau rekonstruksi belum final. Tapi, malahan para pendukung FPI yang kemarin2 banyak bicara, begitu dipanggil untuk dimintai keterangan, malah pada mangkir. Apa sih maunya FPI ?,” cetus akun XXXXX.
Akun XXXX menimpali dengan cuitan, “Thomas Hobbes dalam De Cive & Leviathan mengungkapkan tanpa ada keteraturan dalam masyarakat yg diwujudkan oleh adanya pemegang kekuasaan (Pemerintah), maka akan tercipta kondisi Homo Homini Lupus dimana manusia sebagai serigala yg memangsa sesamanya karena ketiadaan keteraturan; populer dengan istilah lain Anarkis, dari An+Archos leaderless, tanpa kepemimpinan”.
Akun XXXX kemudian menimpali dengan cuitan filosofi hukum lainnya, “Seneca, seorang filsuf Romawi mengungkapkan keadaan yg di kehendaki ada pada masyarakat adalah Homo Homini Socius, masyarakat yg memanusiakan sesamanya”.
Yang menarik, cuitan akun XXXX yang mengatakan, “Pengerahan massa dengan tujuan mengintimidasi proses hukum adalah bentuk anarkisme intimidasi psikologis sosial yg menciderai tujuan berbangsa dan bernegara sesuai UUD 1945 dan Pancasila”.
Upaya intervensi terhadap penegakkan hukum akibat kerumunan yang diciptakan oleh kegiatan FPI beberapa waktu lalu memang menyadarkan bangsa ini akan ketentuan hukum sebagai fondasi demokrasi Indonesia. Sebelum amandemen UUD 1945, yang berbunyi bahwa “Indonesia adalah negara yang berdasar atas negara hukum”. Sedangkan setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Presiden RI Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. “Hukum harus dipatuhi dan ditegakkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, melindungi kepentingan bangsa dan negara. Sudah merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil. Aparat hukum dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Jokowi menegaskan bahwa, jika terdapat perbedaan pendapat tentang proses penegakan hukum. Dirinya minta agar gunakan mekanisme hukum. Mekanisme hukum yang ada, telah mengatur sejumlah prosedur hingga proses peradilan dengan keputusannya yang harus dihargai. Apabila memerlukan keterlibatan lembaga independen, ujarnya, maka Indonesia juga memiliki Komnas HAM di mana masyarakat dapat menyampaikan pengaduannya.
“Kita harus menjaga tegaknya keadilan dan kepastian hukum di negara kita, menjaga fondasi bagi kemajuan Indonesia,” ucap Presiden RI. (*)